English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Dan Bacaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Dan Bacaan. Tampilkan semua postingan

10 Hotel Berhantu di Indonesia

Hantu secara umum merujuk pada kehidupan setelah kematian. Hantu juga dikaitkan dengan roh atau arwah yang meninggalkan badan karena kematian. Definisi dari hantu pada umumnya berbeda untuk setiap agama, peradaban, maupun adat istiadat.


1. Provincial Hotel

Banyak pemburu hantu dan tamu datang hanya untuk mendengar cerita tentang kisah-kisah hantu tentang hotel ini. dan para Pemburu hantu sengaja datang ke sini untuk membuktikan dengan mata kepala mereka sendiri

2. Hotel Del Coronado

Yang paling terkenal legenda dan cerita hantu di hotel ini adalah hantu Kate Morgan, yang menginap di hotel ini pada tahun 1892 untuk bertemu dengan sang suami yg telah hilang

3. Stanley Hotel

Hotel, yang dibuka pada 1909, dihantui oleh Flora Stanley, istri dari pemilik hotel, yang senang bermain piano larut malam. Rohnya dikatakan sering terlihat dan menghantui para tamu yg datang

4. Le Pavilion Hotel

banyak Suara-suara aneh di malam hari, tdk jelas, dan seringnya penampakan sesosok wanita berdiri di kaki tempat tidur para tamu. dan mengangkat Seprai Coverlets ke udara, dari sore hingga lewat tengah malam

5. Heathman Hotel

Kamar 703 adalah tempat paling angker. Tamu yang meninggalkan ruangan akan heran karena menemukan handuk yang digunakan besih kembali, segelas air keluar, meja kursi bergerak sendiri. dari catatan Hotel melaporan bahwa tidak ada yang menggunakan kunci elektronik untuk masuk ke kamar. namun Insiden ini terjadi terlalu sering untuk diasumsikan sebagai orang iseng

6. Sagamore Hotel

Terletak di Pegunungan Adirondack yang belum terjamah, fitur yang Sagamore Historic Hotel, dengan dekorasi yang elegan, dan The Lodges, didekorasi dengan gaya yang santai ala Adirondack.
Banyak pegolf mengatakan bahwa hantu yg ada disisni mencuri bola golf mereka dan teman kencan mereka, Dan Anda bisa mendengarnya tertawa keras. Mereka mengatakan dia akan mengejar bola dan mencuri wanita Anda dari balik pohon

7. crescent Hotel

Para tamu telah banyak yang melaporkan penampakan dan kejadian aneh lainnya di sejumlah kamar tamu, lobi, dan ruang makan.

Anda tidak perlu tinggal di sebuah kamar angker untuk melihat hantu yang nyata di Crescent Hotel. Luar Ruang Rekreasi, hantu Dr Norman Baker sering muncul, Ia mengelola sebuah rumah sakit dan kesehatan kontroversial resor di gedung selama tahun 1930-an. Banyak orang percaya bahwa mata air yang mengalir di bawah hotel adalah energi yang menarik penampakan hantu.

Apakah ini hanya trik publisitas untuk membantu hotel yang hampir bangkrut? Itu bisa, tetapi sebenarnya hotel ini mulai melakukan bisnisnya dengan baik sebelum hantu itu terlihat

8. Ramada Plaza Hotel

Rumor mengatakan bahwa Walter Schoreder (Pemilik hotel) dibunuh, dan arwahnya gentayangan mengganggu tamu dengan menyalakan keran air, lampu, berteriak, serta menampakan diri

9. Queen Mary Hotel

adalah sebuah kota terapung dibanjiri keanggunan yang luar biasa, dengan suasana mistis yang kental.
terdaftar di Daftar Nasional Tempat Bersejarah, dan juga tetap menjadi salah satu tempat paling terkenal di california.

Tamu dari Hotel Queen Mary yang berani menerima tantangan Dipandu oleh Self-Shipwalk Tour.

Banyak kejadian aneh dan suara-suara ketukan, suara-suara tanpa tubuh, dan penampakan hantu berjalan di lorong-lorong dan tangga telah dilaporkan oleh staf, tamu, dan peneliti di kapal berlabuh.

Banyak saksi hantu memiliki pengalaman yg berbeda di atas kapal Queen Mary Hotel

10. Carolina Inn
Seringkali tamu menceritakan diikuti oleh seorang laki-laki yang menghilang saat mereka berbalik menghadap ke arahnya. Staf dan tamu juga menceritakan bahwa penampakan pria, mengenakan setelan hitam mengenakan topi rajutan, Parker biru panjang gaya mantel itu sering menghatui mereka.


Sumber : http://www.bungakurnia.com/

Kotaku tercinta PARE

pare, adalah sebuah kecamatan di kabupaten kediri provinsi jawa timur. terletak 20 km sebelah timur kediri kota, atau 120 km barat daya kota surabaya. pare berada pada jalur kediri-malang dan jalur jombang-kediri. saat ini pare dikembangkan menjadi ibu kota kabupaten kediri, yang secara berangsur-angsur dipindahkan dari kota kediri.

pare terkenal di sektor agraris dan peternakannya.tanahnya subur bekas letusan gunung kelud.andalan agraris dari pare adalah mente dan blinjo.pare salah satu sentra peternakan ayam petelur terbesar di indonesia.

kecamatan pare menjadi terkenal di seluruh dunia karena di sinilah antropolog kaliber dunia, clifford geertz yang saat itu masih menjadi mahasiswa doktoral - melakukan penelitian lapangannya yang kemudian ditulisnya sebagai sebuah buku yang berjudul the_ eligion of java. dalam buku tersebut geertz menyamarkan pare dengan nama "mojokuto".

dalam hal budaya, terutama bahasa, warga pare banyak mendapat pengaruh dari bahasa malangan, jombangan/suroboyoan, dan asli mataraman/jawa alus. anak muda pare sebagian menyebut dirinya "arek", sebagaimana sebutan di daerah malang atau surabaya, tapi tak sedikit pula yg menyebut dirinya "cah" atau "bocah" sebagaimana sebutan di daerah jawa kulon seperti madiun, nganjuk dsb..

kebanyakan warga pare telah banyak berasimilasi dg warga pendatang dari luar pare. warga pendatang tsb biasanya datang sebagai pegawai, pelajar, dan pekerja. ini tidak aneh karena walaupun statusnya sebagai kota kecamatan, pare memiliki banyak instansi pemerintahan, sekolahan, pusat kursus dan lembaga pendidikan formal/nonformal yang tersebar.

di bidang pendidikan, pare memiliki puluhan sd negeri, 4 buah sekolah menengah pertama negeri, 2 buah sekolah menengah atas negeri, serta banyak sekolah umum maupun kejuruan swasta lainnya. yang membuat pare jadi terkenal ke seluruh negeri adalah keberadaan lembaga-lembaga kursus, terutama kursus bahasa inggris, yang terpusat di desa pelem dan tulungrejo. bec, mahesa institut, iecc, harvard, adalah beberapa contoh lembaga kursus bahasa inggris yang ada di pare. keberadaan lembaga2 ini sedikit banyak juga mengangkat perekonomian masyarakat di sekitarnya. tak heran jika banyak warga dari luar pare yg menuntut ilmu di pare...

di pare juga terdapat akper, akbid dan akop (dulu, sekarang mungkin sudah kolaps). dua nama akademi yg pertama disebut tadi bisa jadi terkait erat dg banyaknya keberadaan instansi-instansi kesehatan di kota ini, seperti : rsud pare, rs hva toeloengredjo, rs amelia, rs bersalin kasih bunda, rs bersalin nuraini dan masih banyak lagi.

di sektor ekonomi, pare memiliki 2 buah pasar sebagai pusat ekonomi rakyat, yakni pasar lama pare dan pasar baru pare. pusat keramaian, dalam hal ini toko-toko, sekarang ini banyak terpusat di sepanjang jalan di depan bekas stasiun pare jaman dulu, menggeser keberadaan jalan raya sebagai pusat keramaian. di pare kita tidak akan kesulitan menemukan atm dari beberapa bank nasional, karena di kota ini ada bank bca, bank mandiri, bni, bri, bank jatim, bank danamon, bank artha pamenang dsb.

di sektor olahraga, pare dikenal sebagai homebase atau markas dari tim sepakbola persedikab (persatuan sepakbola kediri kabupaten) yang pernah 2 kali berlaga di tingkat divisi utama. tim ini biasa menjamu lawan-lawannya di stadion canda bhirawa yang terletak tak jauh dari masjid agung an nur. namun seiring dengan makin meredupnya prestasi persedikab, bocah-bocah pare kini lebih mendukung klub persik kediri yang lebih bagus prestasinya.

beberapa bangunan / ikon yg menjadi ciri khas kota pare antara lain : tugu garuda, monumen mastrip, ringinbudo, alun-alun thamrin, sanggar budaya dan masjid agung an nur.

itulah sekelumit gambaran tentang pare, kota kecil yg tumbuh dinamis seiring dengan perkembangan zaman.

AYAHKU SEORANG BONEK

Tak terasa sudah hampir 7 tahun aku meninggalkan bhumi AREMA untuk mengadu nasib di Jakarta, dikota yang penuh keragaman baik suku sampai dengan ke-fanatik-an terhadap tim sepak bola daerah masing-masing. Tak kalah juga diriku yang tak terlewatkan sedikitpun berita tentang AREMA walaupun sekarang berada di kota orang.

Satu pesan yang tidak dapat hilang dari ingatanku saat aku masih duduk dibangku SMP ketika hendak menyaksikan tim kebanggaanku AREMA bertanding di stadion GAJAYANA , seorang pria paruh baya memakai kaos hijau dengan symbol HIU dan BUAYA didadanya berkata “ nak… kamu boleh mendukung tim kamu segila-gilanya, tapi jangan ngisruh (anarkis), apapun hasilnya terima dengan legowo, jangan ngisruh…”.

Ya…dia adalah ayahku, seorang kelahiran Surabaya yang sangat fanatik dengan tim kesayangannya PERSEBAYA. Aku masih ingat saat aku masih umur 4 tahun aku diajak kejakarta oleh ayahku untuk menyaksikan laga PERSEBAYA versus PERSIJA tahun 1988 yang sejak saat itu lahirlah istilah BONEK, dia selalu bangga karena aku dan dia menjadi bagian sejarah lahirnya “BONEK”, tidak jarang aku diajak kestadion dan diangkat-angkat manakala PERSEBAYA berhasil mencetak gol, sampai sekarang pun dia tak pernah melewatkan pertandingan atau pun berita tim kesayangannya itu.

Terus bagaimana aku bisa jadi AREMANIA??? Berawal pada tahun 1992 ketika ayahku pindah dinas ke kota Malang, dia mengajak seluruh keluarga kecilnya pindah ke kota apel itu, sampai aku menginjak pendidikan SMP aku masih terbiasa dengan “aroma “ PERSEBAYA dirumahku, mulai dari poster sampai teriakan kegembiraan ayahku saat timnya mencetak gol, bahkan sedikit demi sedikit hati ini mulai ikut menyukai tim kesayangan ayahku itu, hingga suatu hari aku diajak membolos sekolah oleh salah satu temanku hanya untuk membeli kaos AREMA dan pada sore harinya aku diajak kestadion GAJAYANA yang pada saat itu aku tidak tahu ada apa distadion itu, kata temanku “ wis talah pokoke melok wae…( sudahlah pokoknya ikut saja..)”…

sesampainya diluar stadion sedikit demi sedikit aku mulai mengerti ada apa distadion itu ,aku melihat dari anak-anak sampai orang tua memakai kaos biru, syal biru, topi biru dengan rapi dan tertib berlalu lalang, sebagian lainnya benyanyi lagu mendukung suatu tim yang bernama AREMA, tepat jam 2 siang aku sudah berada didalam stadion, mataku benar-benar terbelalak melihat puluhan ribu orang memakai kaos biru bernyanyi, menari-nari kecil sambil meneriakkan AREMAAAA…

begitu kompak, begitu kreatif, begitu menggemuruh, suatu pengalaman yang belum pernah kualami sebelumnya, walaupun aku sudah puluhan kali diajak ayahku kestadion mendukung tim kesayangannya, tapi tidak pernah aku se-gemetar- ini, akupun mulai ikut bernyanyi dan menari bersama mereka. Dalam perjalanan pulang pun banyak orang yang tak kukenal menyapaku sambil bertanya “ salam satu jiwa ker..AREMA menang yo..?”

akupun Cuma bisa tersenyum dan menjawab “iya menang mas..”. Waw aku benar-benar kagum merasakan ke-fanatik-an yang begitu kental ini, seolah AREMA bukan hanya tim sepak bola bagi mereka, terlihat jiwa jiwa singa sudah mendarah daging di benak seluruh penduduk kota ini.

Sesampainya didepan rumah segera aku mengganti kaos AREMA ku dengan baju sekolah, aku harus menyembunyikan semuanya karena aku tahu ayahku adalah seorang yang sangat fanatik pada tim PERSEBAYA dan saat itu hubungan supporter AREMA dengan PERSEBAYA sudah mulai tidak akur.

Berulang-ulang kali aku harus sembunyi-sembunyi untuk pergi kestadion, sampai pada suatu sore sepulang dari stadion,didepan pintu ayahku sudah menunggu “ dari mana saja kamu..” akupun menjawab “ dari rumah teman..” ayahku mulai curiga dan dia menggeledah tasku, aku pasrah saat dia menemukan kaos AREMA di tasku, dia pun memarahiku karena aku telah berbohong padanya, tapi yang aku heran kenapa dia tidak memarahiku karena mendukung tim yang notabene adalah rival tim kesayangannya?,

aku tambah terkejut saat esok harinya dia pulang kerja dan menghampiriku sambil memberiku sebuah syal dan topi yang kali ini bukan berwarna hijau lagi, tapi berwarna biru bertuliskan AREMA, begitu girangnya aku, tapi belum hilang penasaranku terhadap sikap ayah, sampai dia berujar kepadaku “kamu bebas memilih tim mana saja yang kamu dukung, tim kamu adalah tim kamu, timku adalah timku, kamu AREMANIA dan aku BONEK, sampai kapanpun aku tidak akan berpaling dari PERSEBAYA, dan ayah tahu kamu pun tidak akan berpaling dari AREMA, tetap sportif jangan anarkis, lakukan yang terbaik buat tim kita masing-masing”,sebuah pesan moral dari seorang “rival” yang tak akan kulupakan sampai kapanpun.

Sejak saat itu kami saling mendukung tim kesayangan kami, tentunya dengan sportif kami menerima kemenangan maupun kekalahan tim masing-masing, bahkan saat AREMA berlaga dibabak delapan besar di kota Gresik, ayahku menawarkan jasa untuk mengantar aku dan teman-teman aremania ku menggunakan mobilnya secara gratis, karena kebetulan kakekku tinggal disana, sedikitpun tidak ada rasa sentimen antara BONEK dan AREMANIA, tentu bukan karena aku anak kandungnya, tapi karena jiwa sportifitas seorang supporter yang mau berbaur, berbagi, tidak memandang perbedaan warna menjadi pembatas.

Terima kasih ayah..sampai saat ini sportifitas yang kamu junjung tinggi tak akan aku lupakan, andai semua supporter di Indonesia berjiwa sepertimu…semoga tim kita masing-masing bisa melakukan yang terbaik, tanpa anarkis, rasis, dan berjiwa besar…

Renungan Seorang Anak Jalanan

Anak Jalanan Di Indonesia
Ada cerita menarik nih dari teman saya yang bisa kita jadiin motivasi.Langsung saja
Projul itu namaku. Aku ngak kenal ayah, aku ngak kenal ibu. Aku Anak siapa?Aku ngak tahu. Aku suka baca. Dari koran yang kujual. Dari buku-buku bekas di tong sampah. Aku baca disitu, setiap anak punya ibu. Punya ayah. Punya adik. Punya kakak. Punya kakek. Punya nenek. Tapi aku ngak punya. Eh, bukanya ngak punya tapi ngak tahu. Masak ada anak ngak punya ayah dan ngak punya ibu. Ngak mungkin khan..Aku suka sedih. Kalau memikirkannya. Tapi kalau aku sedih terus. Aku ngak bias kerja. Kalau ngak bisa kerja, aku ngak bisa makan. Kalau ngak bisa makan aku bisa sakit. Kalau sakit siapa yang ngejaga. Aku ngak punya siapa-siapa. Temen-temen harus kerja supaya bisa makan. Dan ngak mungkin, jagain aku sambil kerja. Khan ngak mungkin sambil menyelam minum teh botol.

Lalu kalau sakit terus kata dibuku aku bisa mati. Aku ngak pingin mati makanya aku kerja. Makanya aku ngak pingin sakit.


Aku punya baju hanya satu. Walau sudah apek dan butut, aku pakai terus. Ngak malu? Siapa yang malu. Temen-temenku juga kayak gitu. Aku khan anak jalanan bukan anak gedongan yang suka nangis kalau ngak diberi baju baru. Padahal kalau aku perhatiin. Bajunya banyak karena tiap hari bisa ganti baju.

Aku ngak ngiri. Aku ngak pingin nyolong bajunya. Soalnya aku baca dibuku nyolong itu jahat. Jahat itu ngak baik, Aku ngak mau jadi orang jahat. Aku mau jadi orang baik-baik. Walau kadang-kadang pingin nyolong. Tapi ngak pernah kok.

Aku hanya sedih. Kok mereka bisa pakai baju baru, sedangkan aku ngak bisa. Mereka bisa makan enak. Aku ..., boro-boro makan enak. Bisa makanpun sudah untung. Tahu ngak ?....aku suka puasa lho..., padahal bukan bulan puasa.

Aku suka perhatiin. Anak gedongan itu kok ngak pernah ketawa. Pulang sekolah dijemput ama sopirnya, langsung duduk dibelakang. Kok mereka diem saja ngak pada ngomong, padahal ngobrol itu khan enak.

Pernah, aku ngak sengaja lho, "mbuntuti" kata orang jawa. Nyampe rumah, pagarnya dibukain sama pembantunya. terus dia nyelonong aja, ngak ngucapin makasih. Aku suka bilang makasih kalau orang yang aku semir sepatunya ngasih uang hasil keringatku. Aku suka ketawa-tawa ama temen-temen walau lagi puasa karena ngak ada yang dimakan. Ketawa itu sehat, kata Tarmin, temen aku yang suka baca buku.

Tadi aku sedang nyemir sepatu di taman. Yang punya sepatu itu cowok. Cowok itu sedang ngobrol sama cewek. Mungkin ceweknya. Soalnya mesra amat sich. Mereka sedang ngrobrol. Aku dengerin saja obrolannya. Hitung-hitung nambah ilmu.

Mereka cerita tentang filem. Mereka habis nonton Forest Gum. Mereka bilang Forest Gum itu idiot. Kayak apa sich idiot? Kata ceweknya, idiot itu kayak bulu yang diterbangkan oleh angin ke sana kemari, kayak bulu yang diterbangkan oleh angin kesana kemari seperti diceritakan diawal filem itu. Aku ngak ngerti.

Pasti itu arti kiasan. Terus cewek itu cerita lagi. Forest Gum itu ngak punya cita-cita. Hidupnya apa adanya. Kayak bulu yang diterbangkan angin. Forest Gum kalau ingin makan ya makan. Kalau ingin lari ya lari. Iya dong, mosok kalau ingin makan lalu minum, kalau ingin lari lalu pipis. Tapi aku denegerin saja. Siapa tahu ada hikmahnya.

Aku lamain nyemir sepatunya. Biar bisa terus dengerin. Mereka pikir aku anak kecil. Jadi ngak ngerti omongan mereka. Mereka pikir aku kayak Forest Gum. Padahal aku ngerti lho. Mosok diomongin terus ngak ngerti-ngerti.

Aku jadi tertarik soal bulu yang terbang tertiup angin. Ngak tahu kapan jatuhnya. Ngak tahu dimana jatuhnya. Aku mungkin seperti bulu itu. Soalnya aku suka jengkel sama tibun yang suka ngejar-ngejar aku. Aku suka pindah-pindah tempat. Persis kayak bulu yang diterbangkan oleh angin. Tapi aku jadi pingin seperti Forest Gum. Soalnya ia sekarang sudah kaya. Aku juga pingin seperti dia. Bolehkan?

Sifat Manusia Berdasarkan Warna Favorit

Sifat manusia berbasarkan warna favorit ini merupakan cerita menarik bukan,Pastilah hampir semua orang mempunyai salah satu jenis warna yang sangat disukai dari sekian banyak warna yang ada atau yang biasa disebut dengan warna favorit. Nah, dari situ kita bisa lihat watak kamu berdasarkan warna favorit kamu.

Warna Biru
Jika kamu menyukai warna biru, maka kamu termasuk dalam tipe pemurung, selalu menyenangkan dan selalu bertindak pasif dalam segala hal. Mendambakan ketenangan dan ketentraman. Kamu selalu mendapat kesulitan dalam pergaulan. Demikian pula dalam bercinta karena kamu pintar dalam menyembunyikan perasaan.

Warna Hijau
Warna kesukaan kamu hijau, maka kamu adalah tipe yang sangat romantik, menyukai keindahan, menyenangi alam dengan udara yang sejuk. Kamu adalah seseorang yang selalu memegang prinsip. Dalam hal bercinta kamu mengidam-idamkan calon teman hidup yang penuh toleransi dan dapat dipercaya.


Warna Kuning
Kesukaan kamu warna kuning menandakan bahwa kamu memiliki sifat optimis. Kamu tipe periang dan senang bergaul, tidak memiliki penampilan yang loyo. Sifat tolong-menolong selalu ada dalam diri kamu, karena menolong merupakan suatu kewajiban mutlak bagi kamu. Kamu orang yang tidak pernah meremehkan siapapun juga, walaupun seseorang itu dungu atau bloon.

Warna Ungu
Kalo warna Ungu (Violet) menjadi warna favorit kamu maka kamu adalah tipe yang benar-benar luar biasa. Dalam menghadapi masa depan kamu tidak pernah ragu-ragu, apa yang dikerjakan kamu adalah yang terbaik. Kamu pandai benar dalam mengikuti perkembangan jaman. Dalam bercinta, hanya merekalah yang kuat mental yang bisa mendekati dan menjadi kekasih kamu.

Warna Putih
Jika kamu menyukai warna putih, maka kamu adalah orang yang dilahirkan ke dunia dengan sempurna, banyak orang mengagumi kamu karena sifat angun, sifat idealis dan moral kamu yang teramat tinggi. Tak pernah angkuh, senang menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan kamu.

Warna Hitam
Kamu termasuk tipe orang yang sangat lincah dalam hal-hal tertentu saja. Kalo kamu berada dilingkungan yang tidak disukai, maka kamu akan menjadi murung. Kamu selalu tampil menarik, rapi, cukup banyak lawan jenis berusaha mengejar dan merebut cinta kamu.

Warna Merah
Kamu termasuk tipe yang sangat berwibawa dan juga senang mengayomi teman yang lemah. Walau sering kali bergaul dan bercanda tapi kamu bisa menahan diri. Banyak orang mengatakan cinta, tapi kamu selalu berpikir dan berpikir lagi. Kamu termasuk tipe yang sulit jatuh cinta.

Sinopsis Novel Garuda di Dadaku

Bayu, yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, memiliki satu mimpi dalam hidupnya: menjadi pemain sepak bola hebat. Setiap hari dengan penuh semangat, ia menggiring bola menyusuri gang-gang di sekitar rumahnya sambil mendribble bola untuk sampai ke lapangan bulu tangkis dan berlatih sendiri di sana. Heri, sahabat Bayu penggila bola, sangat yakin akan kemampuan dan bakat Bayu. Dialah motivator dan “pelatih” cerdas yang meyakinkan Bayu agar mau ikut seleksi untuk masuk Tim Nasional U-13 yang nantinya akan mewakili Indonesia berlaga di arena internasional. Namun Pak Usman, kakek Bayu, sangat menentang impian Bayu karena baginya menjadi pemain sepak bola identik dengan hidup miskin dan tidak punya masa depan.

Dibantu teman baru bernama Zahra yang misterius, Bayu dan Heri harus mencari-cari berbagai alasan agar Bayu dapat terus berlatih sepak bola. Tetapi hambatan demi hambatan terus menghadang mimpi Bayu, dan bahkan persahabatan tiga anak itu terancam putus. Terlalu mulukkah impian Bayu untuk menjadi pemain sepak bola yang hebat

Potret Bangsa Pengutang Yang Menarik

Cerita menarik ini berasal dari jakarta.Di Jakarta banyak orang pulang malam. Bukan pulang sore. "Sibuk," kata mereka. Sebagian memang benar karena sibuk. Sebagian lain, mungkin 90 persen, ingin dianggap sibuk.

Kesibukan utamanya baru mulai selepas makan siang. Sebagian besar untuk rapat. Menurut teori, rapat yang baik adalah yang ringkas. Cukup 30 menit hingga sejam. Namun 'orang-orang sibuk' selalu mampu mengadakan rapat hingga tiga jam.

Itu belum termasuk perbincangan panjang setelahnya. Katanya, perbincangan itu membahas iklim bisnis yang sedang berkembang. Juga soal konsep pengembangan produk atau usaha, bahkan juga politik. Hanya bila ada waktu tersisa, baru menangani pekerjaan teknis.

Setelah matahari terbenam, orang-orang pun memindahkan kantor ke kafe-kafe. "Bisnis adalah lobi," kata mereka. Kafelah tempatnya. Kafe juga menjadi standar gaul mereka yang menganggap diri "eksekutif". Termasuk yang baru setahun dua tahun kerja, dan masih memakai mobil milik orang tua.


Lalu seberapa efisien untuk kerja pagi? "Kita 'kan sibuk sampai malam. Jangankan untuk produktif, kerja pagi pun susah."

Bagi Sumarno --seorang nelayan sukses asal Jepara-- dunia yang dijalani para 'eksekutif muda' di Jakarta
sungguh merupakan dunia ilusi. Omzet bisnis Sumarno mencapai Rp 3 miliar sebulan. Baginya, kerja, ya,kerja. Bukan rapat dan berdiskusi melulu. Baginya,pendapatan, ya, ditabung dan untuk membantu sanak keluarga serta masyarakat sekitar. Bukan dihabiskan dikafe dan mal.

Dengan tingkat penghasilannya, ia sudah sangat bangga menggunakan Opel Blazer. Warga Jakarta, dengan penghasilan pas-pasan sekalipun, bahkan rela untuk berutang demi mendapatkan mobil yang lebih mewah.

Sumarno hampir pasti tak memegang kartu kredit. DiJakarta, semua berlomba menggunakan kartu kredit. Kartu kredit itu dipakai terutama bukan untuk memudahkan pembayaran, namun untuk gali lubang tutup lubang. Jangan tanyakan berapa saldo mereka yang tersisa di bank.

Jakarta jantung Indonesia. Jangan heran bila Negara ini punya perilaku yang sama dengan warga Jakarta bokek, namun suka gali lubang tutup lubang. Warga Jakarta merasa tidak dapat hidup kalau tidak mempunyai tagihan utang yang harus dipenuhinya. Demikian pula Republik kita tercinta ini.

Negeri ini punya setumpuk utang. Tumpukan itu yang menjadi alasan untuk mengajukan utang berikutnya. Seolah tidak ada bangsa di dunia ini yang dapat hidup dan berkembang tanpa utang. Cina sukses bukan dengan mengutang, tetapi dengan menggali kekuatannya sendiri.Kekuatan kita memang masih jauh di bawah Cina, namun apakah benar bangsa kita tak lagi punya apa-apa termasuk harga diri?

"Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah," Kita akan jauh lebih mampu untuk bangkit bila tidak menengadahkan tangan. Syaratnya hanya kesediaan kita berkorban meninggalkan kebiasaan ikut-ikutan mendapatkan kesan 'wah' untuk kembali hidup realistis seperti Sumarno.

Mari kita bangun dari tertidur dalam ilusi. Pulanglah sore. Nikmati suasana senja di beranda rumah sendiri.Mulailah bekerja lebih pagi. Bila merasa gengsi belajar dari Sumarno, tengoklah Singapura. Negara itu memajukan sejam patokan waktu negerinya. Maka, mereka lebih mampu memberi utang ketimbang berutang.

Kisah Cinta Sejati dari Negeri Sebelah

“true love doesn’t have a happy ending, because true love never ends.” bener ga? ========================================== Toshinobu Kubota, yang biasa dipanggil Shinji mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya di negerinya yang lama untuk mencari hidup yang lebih baik di Amerika. Ayahnya memberinya uang simpanan keluarga yang disembunyikan di dalam kantong kulit. “Di sini keadaan sulit,” katanya sambil memeluk
putranya dan mengucapkan selamat tinggal. “Kau adalah
harapan kami.”
Shinji naik ke kapal lintas Atlantik yang menawarkan
transport gratis bagi pemuda-pemuda yang mau bekerja
sebagai penyekop batubara sebagai imbalan ongkos
pelayaran selama sebulan. Kalau Shinji menemukan emas
di Pegunungan Colorado, keluarganya akan menyusul.
Berbulan-bulan Shinji mengolah tanahnya tanpa kenal
lelah. Urat emas yang tidak besar memberinya
penghasilan yang pas-pasan namun teratur. Setiap hari
ketika pulang ke pondoknya yang terdiri atas dua
kamar, Shinji merindukan dan sangat ingin disambut
oleh wanita yang dicintainya. Satu-satunya yang
disesalinya ketika menerima tawaran untuk mengadu
nasib ke Amerika adalah terpaksa meninggalkan Asaka
Matsutoya sebelum secara resmi punya kesempatan
mendekati gadis itu. Sepanjang ingatannya, keluarga
mereka sudah lama berteman dan selama itu pula
diam-diam dia berharap bisa memperistri Asaka.
Rambut Asaka yang ikal panjang dan senyumnya yang
menawan membuatnya menjadi putri Keluarga Yoshinori
Matsutoya yang paling cantik. Shinji baru sempat duduk
di sampingnya dalam acara perayaan pesta bunga dan
mengarang alasan-alasan konyol untuk singgah di rumah
gadis itu agar bisa betemu dengannya. Setiap malam
sebelum tidur di kabinnya, Shinji ingin sekali
membelai rambut Asaka yang pirang kemerahan dan
memeluk gadis itu. Akhirnya, dia menyurati ayahnya,
meminta bantuannya untuk mewujudkan impiannya.
Kira-kira setahun kemudian, sebuah telegram datang
mengabarkan rencana untuk membuat hidup Shinji menjadi
lengkap. Pak Yoshinori Matsutoya akan mengirimkan
putrinya kepada Shinji di Amerika. Putrinya itu suka
bekerja keras dan punya intuisi bisnis. Dia akan
bekerja sama dengan Shinji selama setahun dan
membantunya mengembangkan bisnis penambangan emas.
Diharapkan, setelah setahun itu keluarganya akan mampu
datang ke Amerika untuk menghadiri pernikahan mereka.
Hati Shinji sangat bahagia. Dia menghabiskan satu
bulan berikutnya untuk mengubah pondoknya menjadi
tempat tinggal yang nyaman. Dia membeli ranjang
sederhana untuk tempat tidurnya di ruang duduk dan
menata bekas tempat tidurnya agar pantas untuk seorang
wanita. Gorden dari bekas karung goni yang menutupi
kotornya jendela diganti dengan kain bermotif bunga
dari bekas karung terigu. Di meja samping tempat tidur
dia meletakkan wadah kaleng berisi bunga-bunga kering
yang dipetiknya di padang rumput.
Akhirnya, tibalah hari yang sudah dinanti-nantikannya
sepanjang hidup. Dengan tangan membawa seikat bunga
daisy segar yang baru dipetik, dia pergi ke stasiun
kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit
ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Shinji
melihat setiap jendela, mencari senyum dan rambut ikal
Asaka.Jantungnya berdebar kencang penuh harap,
kemudian tersentak karena kecewa.
Bukan Asaka, tetapi Yumi Matsutoya kakaknya, yang
turun dari kereta api. Gadis itu berdiri malu-malu di
depannya, matanya menunduk. Shinji hanya bisa
memandang terpana. Kemudian, dengan tangan gemetar
diulurkannya buket bunga itu kepada Yumi. “Selamat
datang,” katanya lirih, matanya menatap nanar. Senyum
tipis menghias wajah Yumi yang tidak cantik.
“Aku senang ketika Ayah mengatakan kau ingin aku
datang ke sini,” kata Yumi, sambil sekilas memandang
mata Shinji sebelum cepat-cepat menunduk lagi.
“Aku akan mengurus bawaanmu,” kata Shinji dengan
senyum terpaksa.
Bersama-sama mereka berjalan ke kereta kuda. Pak
Matsutoya dan ayahnya benar. Yumi memang punya intuisi
bisnis yang hebat. Sementara Shinji bekerja di
tambang, dia bekerja di kantor. Di meja sederhana di
sudut ruang duduk, dengan cermat Yumi mencatat semua
kegiatan di tambang. Dalam waktu 6 bulan, asset mereka
telah berlipat dua. Masakannya yang lezat dan
senyumnya yang tenang menghiasi pondok itu dengan
sentuhan ajaib seorang wanita.
Tetapi bukan wanita ini yang kuinginkan, keluh Shinji
dalam hati, setiap malam sebelum tidur kecapekan di
ruang duduk. Mengapa mereka mengirim Yumi? Akankah dia
bisa bertemu lagi dengan Asaka? Apakah impian lamanya
untuk memperistri Asaka harus dilupakannya? Setahun
lamanya Yumi dan Shinji bekerja, bermain, dan tertawa
bersama, tetapi tak pernah ada ungkapan cinta. Pernah
sekali, Yumi mencium pipi Shinji sebelum masuk ke
kamarnya. Pria itu hanya tersenyum canggung. Sejak
itu, kelihatannya Yumi cukup puas dengan jalan-jalan
berdua menjelajahi pegunungan atau dengan mengobrol di
beranda setelah makan malam.
Pada suatu sore di musim semi, hujan deras mengguyur
punggung bukit, membuat jalan masuk ke tambang mereka
longsor. Dengan kesal Shinji mengisi karung-karung
pasir dan meletakkannya sedemikan rupa untuk
membelokkan arus air. Badannya lelah dan basah kuyup,
tetapi tampaknya usahanya sia-sia. Tiba-tiba Yumi
muncul di sampingnya, memegangi karung goni yang
terbuka. Shinji menyekop dan memasukkan pasir
kedalamnya, kemudian dengan tenaga sekuat lelaki, Yumi
melemparkan karung itu ke tumpukan lalu membuka karung
lainnya. Berjam-jam mereka bekerja dengan kaki
terbenam lumpur setinggi lutut, sampai hujan reda.
Dengan berpegangan tangan mereka berjalan pulang ke
pondok.
Sambil menikmati sup panas, Shinji mendesah, “Aku
takkan dapat menyelamatkan tambang itu tanpa dirimu.
Terima kasih, Yumi.”
“Sama-sama,” gadis itu menjawab sambil tersenyum
tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia
masuk ke kamarnya.
Beberapa hari kemudian, sebuah telegram datang
mengabarkan bahwa Keluarga Matsutoya dan Keluarga
Kubota akan tiba minggu berikutnya. Meskipun berusaha
keras menutup-nutupinya, jantung Shinji kembali
berdebar-debar seperti dulu karena harapan akan
bertemu lagi dengan Asaka. Dia dan Yumi pergi ke
stasiun kereta api. Mereka melihat keluarga mereka
turun dari kereta api di ujung peron.
Ketika Asaka muncul, Yumi menoleh kepada Shinji.
“Sambutlah dia,” katanya.
Dengan kaget, Shinji berkata tergagap, “Apa maksudmu?”
“Shinji, sudah lama aku tahu bahwa aku bukan putri
Matsutoya yang kau inginkan. Aku memperhatikan
bagaimana kau bercanda dengan Asaka dalam acara
Perayaan pesta bunga lalu.” Dia mengangguk ke arah
adiknya yang sedang menuruni tangga kereta. “Aku tahu
bahwa dia, bukan aku, yang kauinginkan menjadi
istrimu.”
“Tapi…”
Yumi meletakkan jarinya pada bibir Shinji. “Ssstt,”
bisiknya. “Aku mencintaimu, Shinji. Aku selalu
mencintaimu. Karena itu, yang kuinginkan hanya
melihatmu bahagia. Sambutlah adikku.”
Shinji mengambil tangan yumi dari wajahnya dan
menggenggamnya. Ketika Yumi menengadah, untuk pertama
kalinya Shinji melihat betapa cantiknya gadis itu. Dia
ingat ketika mereka berjalan-jalan di padang rumput,
ingat malam-malam tenang yang mereka nikmati di depan
perapian, ingat ketika Yumi membantunya mengisi
karung-karung pasir. Ketika itulah dia menyadari apa
yang sebenarnya selama berbulan-bulan telah tidak
diketahuinya.
“Tidak, Yumi. Engkaulah yang kuinginkan.” Shinji
merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan
mengecupnya dengan cinta yg tiba-tiba membuncah
didalam dadanya.
Keluarga mereka berkerumun mengelilingi mereka dan
berseru-seru, “Kami datang untuk menghadiri pernikahan
kalian!”

Pengrajin Emas dan Kuningan – Pelajaran tentang ketekunan

Di sebuah negeri, hiduplah dua orang pengrajin yang tinggal bersebelahan. Seorang diantaranya, adalah pengrajin emas, sedang yang lainnya pengrajin kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekerjaan ini, sebab, ini adalah
pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang
dihasilkan dari pekerjaan ini. Cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai
penghias, adalah beberapa dari hasil kerajinan mereka.
Setiap akhir bulan, mereka membawa hasil pekerjaan ke kota. Hari pasar, demikian
mereka biasa menyebut hari itu. Mereka akan berdagang barang-barang logam itu,
sekaligus membeli barang-barang keperluan lain selama sebulan. Beruntunglah,
pekan depan, akan ada tetamu agung yang datang mengunjungi kota, dan bermaksud
memborong barang-barang yang ada disana. Kabar ini tentu membuat mereka senang.
Tentu, berita ini akan membuat semua pedagang membuat lebih banyak barang yang
akan dijajakan.
Siang-malam, terdengar suara logam yang ditempa. Setiap dentingnya, layaknya
nafas hidup bagi mereka. Tungku-tungku api, seakan tak pernah padam. Kayu bakar
yang tampak membara, seakan menjadi penyulut semangat keduanya. Percik-percik
api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang
siap dijual. Hari pasar makin dekat. Dan lusa, adalah waktu yang tepat untuk
berangkat ke kota.
Hari pasar telah tiba, dan keduanya pun sampai di kota. Hamparan terpal telah
digelar, tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer
berdampingan. Tampaklah, barang-barang logam yang telah dihasilkan. Namun, ah
sayang, ada kontras yang mencolok diantara keduanya. Walaupun terbuat dari logam
mulia, barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam. Warnanya tak
berkilau. Ulir-ulirnya kasar, dengan pokok-pokok simpul rantai yang tak rapi.
Seakan, sang pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.
“Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan
menanyakan kenapa perhiasaannya kawannya itu tampak kusam. “Setiap orang akan
memilih daganganku, sebab, emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin
emas lagi, “Apalah artinya loyang buatanmu dibanding logam mulia yang kupunya,
aku akan membawa uang lebih banyak darimu.” Pengrajin kuningan, hanya tersenyum.
Ketekunannya mengasah logam, membuat semuanya tampak lebih bersinar.
Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperli
lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap di
pandang mata.
Ketekunan, memang sesuatu yang mahal. Hampir semua orang yang lewat, tak menaruh
perhatian kepada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi, dan
melihat-melihat cincin dan kalung kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan
datang. Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan
logam mulia. Sebab, emas itu tidaklah cukup mereka tertarik, dan mau membelinya.
Sekali lagi, terpampang kekontrasan di hari pasar itu. Pengrajin emas yang
tertegun diam, dan pengrajin kuningan yang tersenyum senang.
Hari pasar telah usai, dan para tetamu telah kembali pulang. Kedua pengrajin itu
pun telah selesai membereskan dagangan. Dan agaknya, keduanya mendapat pelajaran
dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.

Jalan kebahagiaan

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya,
waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk
kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.
Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh.
Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya
pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut
sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun,
jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami
ini, perkimpoian yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya
hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan,
misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang
perjalanan keluar kota .
Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan
kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu
bisa menghibur gejolak hati masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan
kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah
perkimpoian, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang
saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini
telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkimpoian.
Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkimpoian ayah ibu tidak bisa bahagia,
mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak
kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.
Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat
merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkimpoian, hati ini
juga sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkimpoian, maka menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkimpoian yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkimpoian yang baik, pasti dapat diharapkan.

Persahabatan

DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah.
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan "tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu.
Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik.
"Cepat pergi!"
LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri.
Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.

Lelaki Tua Pembuat Kubah

IA lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.
Juga dengan tukang pos muda yang selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.
Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih. "Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.
"Kosong?"
"Mungkin besok," suara tukang pos seperti membujuk.
"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
"Banyak surat diantar hari ini?"
"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita gembira."
"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan orang, Pak Pos."
"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah." "Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai."
"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak Kubah."
Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu tidak ada surat untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta penjual bahan untuk kubah.
Istrinya meninggal belasan tahun lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti lazimnya anak-anak muda kota itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang kini pensiun.
"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada tukang pos tua.
"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi, berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun."
"Sejak muda membuat kubah?"
"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua. "Langganannya tidak cuma dari kota ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif."
"Maksud Bapak?"
"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau dibayar berapa."
"Wah!"
"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung, sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium tanah!"
Mungkin karena cerita-cerita itu, atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir jalan, mengucapkan tidak ada surat dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung tak ubahnya batang-batang padi.
"Nah! Betul, kan ?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan bercerita.
Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa begitu?" tanyanya.
"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu."
"Tidak pernah Bapak tanya?"
"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat dan mungkin besok."
Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya, hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."
"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa punggung,"
"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos. Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua. Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"
"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan besok."
"Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
Sejak itu si tukang pos muda berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan, untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu, hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani. Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil minum teh serta menyantap pisang goreng.

anak PUNK

Tersebutlah seorang pemuda berusia 15 tahun. Namanya Tigor bersekolah kelas 3 SMP Kartika Balikpapan. Lahir di keluarga baik-baik. Konon ceritanya keluarganya yang tadinya kaya-raya mendadak jatuh miskin karena perusahaan sang ayah yang bergerak di bidang kontraktor sipil gulung tikar. Di tengah hobinya bergabung dengan klub BMX, Tigor tidak dapat memenuhi kebutuhannya untuk menyalurkan hobinya itu lebih dalam…yaitu memakai barang-barang bermerk di tubuhnya, membeli ornamen-ornamen untuk sepedanya, dan sebagainya.

Belum lagi ejekan dari teman-teman satu klub yang selalu diterimanya. Sementara di satu sisi, terdapat sebuah klub juga yang menamai diri mereka ‘street guys‘. Dalam jiwanya yang labil, Tigor akhirnya membelot. Anak-anak ‘street‘ jiwa kekeluargaannya lebih besar dibanding anak-anak BMX yang berasal dari keluarga ‘berada’. Tigor mulai merokok, bahkan untuk anak seusianya yang masih tergolong belia, ia sudah mulai mengenal alkohol. Orang tuanya tak henti-henti menasehatinya, tapi doktrin punk terlalu kuat…isinya antara lain “Nazi fuck…polisi anjing…kita bukan budak, jangan mau disuruh-suruh…kami anti kemapanan!!!”. Orang tuanya hanya bisa mengurut-urut dada saja ketika Tigor membantah sewaktu disuruh membuang sampah rumah tangga mereka di tempat pembuangan sampah yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Hingga suatu waktu sang ayah marah besar ketika Tigor membentak beliau hanya karna disuruh pergi ke warung makan. Kemarahan sang ayah membuat Tigor begitu sakit hati karena Tigor belum pernah melihat sang ayah semarah itu kepadanya. Tigor pergi dari rumah tanpa membawa baju ganti satupun. Ia pergi bersama kumpulan barunya yaitu ‘street guys‘ ato lebih kita kenal dengan nama anak punk yang sesungguhnya keberadaan mereka sangat meresahkan masyarakat sekitar dan selalu membuat para polisi jengkel. Di sinilah petualangan Tigor dimulai. Bersama kumpulan barunya ia ikut mengamen di lampu merah, jika lapar dan tidak cukup uang ia mentegakan dirinya mengorek-ngorek tempat sampah demi mengobati perutnya yang sangat kelaparan. Sementara ayah dan ibunya menangis berhari-hari di rumah, berharap Tigor, anak laki-laki satu-satunya mereka segera pulang ke rumah. Tigor memiliki seorang kakak perempuan yang kemudian diasuh oleh tantenya setelah mereka jatuh miskin. Akhirnya suatu saat ibunya mendapati anak lelakinya itu sedang mengorek sebuah tong sampah. Kulitnya bertambah hitam, tubuh jangkungnya terlihat semakin kurus, rambutnya yang hitam legam bagus berubah menjadi model mohawk yang tak beraturan dan berwarna merah yang entah mungkin dari cat rambut murahan. Ibunya menangis melihat anaknya itu dan memintanya pulang ke rumah. Tapi Tigor tetap membantah sampai akhirnya temannya membujuknya untuk pulang…dan pulanglah ia. Ayahnya mulai mengalah padanya. Motor satu-satunya yang tersisa di rumah itu khusus untuk Tigor pakai. Tigor mulai mau sekolah lagi, tapi di akhir pekan, tak ada yang bisa menghalangi langkahnya untuk pergi ke Samarinda, 2 setengah jam dari Balikpapan waktu tempuhnya, bersama anak-anak punk. Namun ayah dan ibunya tak begitu khawatir karena di Samarinda banyak tante-tante dan sepupunya. Sampai akhirnya ia berkenalan dengan seorang gadis kelas 3 SMP di SMPN 2 Samarinda bernama Liza. Kebetulan Liza adalah teman satu sekolah sepupunya. Tigor pulang ke Balikpapan dengan hati berbunga-bunga. Bertambah rajinlah ia berkunjung ke Samarinda karena gadis bernama Liza ini. Orang tuanya sungguh khawatir sesuatu terjadi padanya sepanjang perjalanan lintas kota itu. Akhirnya kelulusan tiba juga. Tigor masuk ke STM Swasta satu-satunya di Balikpapan, jurusan elektro. Belum selesai cobaan yang harus Tigor dan keluarganya terima, berawal dari kecurigaan kedua orang tuanya kalau si anak buta warna karena Tigor sangat susah membedakan antara warna merah muda dan hijau, ditambah lagi dengan sang ayah adalah seorang yang buta warna. Akhirnya keluarga membawanya ke puskesmas, namun kata puskesmas hanyalah kurang latihan. Oleh karena itu kedua orang tuanya tetap nekad memasukkan ke STM yang terdekat dari rumahnya.Namun karena sudah dilatih berulang-ulang si Tigor belum juga bisa menghafal warna-warna tersebut, dengan bantuan sang tante, kemudian Tigor kembali untuk melakukan pemeriksaan dan dibawa ke dokter spesialis mata. Tigor dinyatakan buta warna parsial (60%). Bermaksud baik, sang ibu membawa surat pernyataan dari dokter itu ke pihak sekolahnya agar anaknya dipindahkan jurusan ke jurusan otomotif saja. Ternyata pihak sekolah malah beranggapan bahwa anak buta warna sama sekali tidak bisa masuk di STM di jurusan apapun, jadi lebih baik pindah ke sekolah umum saja. Padahal STM tersebut sebelumnya tidak melakukan test buta warna terhadap calon-calon siswanya maupun meminta surat pernyataan tidak buta warna terlebih dahulu dari para calon siswanya, seperti yang dilakukan oleh STM negeri. Di sekolah teman-teman memperlakukannya seperti orang yang dikucilkan, sikap sang guru juga kurang baik kepadanya (karena Tigor memang bukan siswa teladan di sekolahnya). Akhirnya Tigor membuat keputusan untuk berhenti sekolah. Ia hanya mempunyai ijazah SMP dan tambah menjadi-jadi kehidupan malam dijalaninya di usianya yang baru 16 tahun itu. Suatu hari yang paling membuat orang tuanya shock adalah Tigor yang baru pulang dari Samarinda, membawa Liza pacarnya ke rumah. Saat itu memang sang kakak sedang nginap juga di rumahnya. Ketika ditanya oleh orang tuanya, katanya si Liza akan menginap semalam, mau jalan-jalan dulu di Balikpapan, tidurnya bareng kakaknya saja. Ketika orang tuanya menanyai Liza apakah sudah ijin kepada orang tuanya, Liza bilang sudah. Walau masih sedikit curiga karena Liza masih menggunakan seragam pramuka, namun orang tua Tigor cukup lega karena menurut Liza ia sudah meminta ijin sebelum ke Balikpapan. Sampai kemudian terjadi kehebohan besar. Tantenya Tigor telpon ke rumah menanyai Tigor tentang keberadaan Liza karena orang tua Liza membuat ribut di rumah tantenya tersebut. Ketika mengetahui Tigor membawa Liza ke Balikpapan, tantenya langsung menyuruh mamanya Liza berbicara sendiri kepada ibunya Tigor. Ibu meminta mamanya Liza untuk tidak terlalu khawatir, namun mamanya Liza tetap bersikukuh meminta alamat Tigor di Balikpapan. Di tengah tidur pulasnya Liza, jam 4 subhu, orang tuanya menjemput menggunakan taxi argo. Mereka tampak sangat khawatir karena Liza adalah anak semata-wayang mereka. Akhirnya Liza dilarang orang tuanya menemui Tigor lagi. Tigor datang ke Samarinda sudah tidak disambut baik lagi oleh keluarganya Liza. Orang tua Liza tidak suka Tigor bergaul dengan Liza karena Tigor hanyalah seorang yang lulusan SMP, dan seorang punker. Liza berasal dari keluarga kaya. Tigor patah hati berat dengan Liza. Tigor mencoba untuk bunuh diri, namun teman-teman satu kumpulannya mencegahnya. Kehidupan Tigor tambah lekat pada kehidupan punk. Waktunya habis untuk mengamen dan berkumpul bersama anak-anak punk di jalanan. Puskib adalah tempat berkumpulnya mereka. Lampu merah adalah tempat mereka mengamen. Lagu andalan anak-anak punk berjudul “Punk Rock Jalanan”. Lagu itu selalu Tigor nyanyikan saat mengamen, karena Tigor merasa bahwa lagu itu sangat sesuai untuknya, dia memang seorang “Punk Rock Jalanan”. Sewaktu orang tuanya memohonnya melepaskan diri dari punk, Tigor berkata, “Bu, mereka juga keluargaku. Sewaktu motorku kehabisan bensin di kilometer 20-an, di tengah hutan sana, aku menghubungi seorangpun temanku tak ada yang bisa datang menolongku, tapi ketika aku menelpon Dedy, salah seorang teman punk, semua anak punk Balikpapan datang menghampiriku, jalan kaki mereka dari kota demi aku, menemaniku mendorong motor sampai aku bisa mengisi bensin motorku. Aku menangis dalam hati saat itu. Karena sebenarnya saat itu aku sudah ingin lepas dari mereka. Saat Liza meninggalkanku, punk tidak pernah meninggalkanku.”
Orang tuanya terharu dan tidak sanggup berkata apapun lagi. Punk memang meresahkan masyarakat, mungkin karena mereka terkesan urakan, tapi sikap kekeluargaan mereka terhadap sesamanya patut diacungi jempol. Begitulah kisah Tigor, Punk Rock Jalanan.


 

.:: IP ADDRESS ::.

IP

.:: FOLLOWERS ::.

Meeorochi's Blog Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by MEEOROCHI